Kabupaten Sidoarjo, merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa
Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Sidoarjo. Kabupaten ini
berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik di
utara, Selat Madura di timur, Kabupaten Pasuruan di
selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat. Sidoarjo dikenal sebagai
penyangga utama Kota Surabaya, dan termasuk kawasan Gerbangkertosusila.
(Gerbangkertosusila, adalah akronim dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan)
Kebudayaan- Kebudayaan di Kabupaten Sidoarjo antara lain adalah
1. Bahasa
Bahasa yang berkembang di daerah Sidoarjo dikenal dengan sebutan
Bahasa Arek. Bahasa Arek merupakan bahasa keseharian warga Kota Surabaya dan
kabupaten pecahan Kota Surabaya, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, Gresik.
2. Tradisi
a. Lelang Bandeng
Setiap tahun di Kabupaten Sidoarjo tepatnya dalam
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW diadakan kegiatan lelang bandeng
tradisional bertempat di alun-alun Sidoarjo.
Lelang bandeng tradisional diadakan
dengan tujuan selain menjunjung tinggi peringatan Maulid nabi
Muhammad SAW juga mempunyai maksud menjadikan cambuk untuk
meningkatkan produksi ikan bandeng dengan pengembangan motivasi dan
promosi agar petani tambak lebih meningkatkan kesejahteraannya.
Lelang bandeng adalah merupakan
usaha dengan tujuan mulia, karena hasil bersih uang seluruhnya digunakan
untuk kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan melalui yayasan amal bhakti Muslim
Sidoarjo.
Tradisi lelang bandeng selalu
dibarengi dengan kegiatan-kegiatan lainnya yaitu pasar murah, berbagai macam
hiburan tanpa dipungut biaya, antara lain Band, Orkes Melayu,
Ludruk, Samroh dan lomba MTQ tingkat kabupaten.
Bandeng yang dilelang
dinamakan bandeng “KAWAKAN“ yang dipelihara khusus antara 5 – 10 tahun
dan mencapai berat 7 Kg sampai 10 Kg per ekor.
b.
Nyadran
Di Jawa, pada bulan Ruwah (
kalender Jawa ) ada tradisi yang dinamakan Ruwatan. Bentuk –bentuk Ruwatan ini
dapat berupa bersih Desa ,Ruwah desa atau lainnya.
Di Sidoarjo tepatnya di Desa
Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap
bulan Ruwah pada saat bulan purnama.
Tradisi tersebut dinamakan Nyadran,
Nyadran ini merupakan adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk kegiatan Nyadran berupa
pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri
khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang
mata pencaharian sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan
dengan kegiatan persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah
malam.
Kegiatan ini dilakukan pada dini
hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling.
Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju
dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa
Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).
Ketika iring-iringan perahu sampai
di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam.
Konon menurut cerita dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran
dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu
untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan
membuang seekor ayam yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil
yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka.
Sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta
iring-iringan perahu tiba di dusun Kepetingan Ds. Sawohan . Rombongan peserta
nyadran langsung menuju makam dewi Sekardadu untuk mengadakan makan
bersama. Sambil menunggu fajar tiba, peserta nyadran tersebut berziarah,
bersedekah, dan berdoa di makam tersebut agar berkah terus mengalir. Menurut
cerita rakyat Balongdowo Dewi sekardadu adalah putri dari Raja Blambangan
yang bernama Minak Sembuyu yang pada waktu meninggalnya dikelilingi “
ikan kepiting “ itulah sebab mengapa dusun tersebut dinamakan Kepetingan.
Tetapi orang-orang sering menyebut Dusun Ketingan.
Setelah dari makam Dewi Sekardadu,
sekitar pukul 07.00WIB. Perahu-perahu itu menuju selat Madura yang berjarak
sekitar 3 Km. Sekitar pukul 10.00 WIB. iring-iringan perahu tersebut mulai
meninggalkan selat Madura. Kemudian mereka kembali ke Ds Balongdowo. Sepanjang
Perjalan pulang ternyata banyak masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut
iring-iringan perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta
nyadran dengan harapan agar mendapat berkah.
Ada satu proses dari pesta nyadran
ini yaitu “ Melarung tumpeng “ Proses ini dilakukan di muara /Clangap (
pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo ). Proses
ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadzar
/kaul.
3. Kesenian
a. Wayang Kulit
Jenis wayang kulit yang ada di Sidoarjo sebagian besar adalah
wayang kulit gaya Jawa Timuran (gaya Wetanan) dan sebagian kecil gaya Kulonan.
Hampir semua kecamatan memiliki dalang wayang kulit Wetanan ini, diantaranya:
Tarik, Balungbendo, Krian, Prambon, Porong, Tulangan, Sukodono, Candi,
Sidoarjo, Gedangan dan Waru.
Gaya Wetanan ini dapat dibagi lagi
dalam penggolongan pecantrikan, yaitu:
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari
Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal,
Gempol
Dari segi musik, instrumennya
menggunakan gamelan slendro, mirip yang digunakan dalam ludruk. Berbeda dengan
gaya Kulonan yang menggunakan gamelan slendro dan sekaligus pelog. Namun
kemudian wayang gaya Wetanan juga menggunakan gamelan pelog, terutama untuk
mengiringi adegan-adegan tertentu.
Mengikuti selera konsumen,
pergelaran wayang kulitpun akhirnya dilengkapi dengan campursari bahkan juga
musik dangdut. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai pembuka tarian
Remo segala, dimana pengunjung diminta memberikan saweran yang dulu diselipkan
ke dada.
Keberadaan wayang kulit di Sidoarjo
semakin menurun karena tidak ada kaderisasi. Hanya ada satu dalang cilik, anak
Subiyantoro yang juga dalang. Juga tidak ada lembaga formal atau nonformal yang
mengajarkan wayang gaya Wetanan secara utuh, bukan hanya disentuh saja. Belum
lagi keterbatasan naskah yang siap dipentaskan.
b. Reog Cemandi
Reog Cemandi adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu muncul
pada tahun 1926.
Reog Cemandi berbeda dengan Reog Ponorogo. Yang membedakan
adalah tidak adanya warok, dan topengnya tidak dihiasi dengan bulu merak
seperti ciri khas reog Ponorogo. Irama musik yang digunakan adalah angklung dan
kendang kecil.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 13 orang. Dua penari yang
memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam
penabuh gendang dan empat pemain angklung.
Saat memainkan tarian itu, dua penari Barongan Lanang dan
Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh
gendang itu membentuk formasi melingkar sambil mengikuti irama.
Dulunya, reog Cemandi adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat
desa Cemandi, kecamatan Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu,
salah satu kyai dari Pondok Sidoresmo Surabaya, menyuruh masyarakat setempat
untuk membuat topeng dari kayu pohon randu. Topeng itu dibentuk menyerupai
wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan
tari-tarian untuk mengusir penjajah yang akan memasuki desa Cemandi.
Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut
juga sebagai himbuan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan
Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam sair pangelingan (pengingat)
yang dilantunkan pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip
eling gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap Arif Juanda
menirukan sair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi.
Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan
mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya,
bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau
arak-arakan pasti kami yang di depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya
lagi.
c. Wayang
Potehi
Kesenian
adalah kesenian khas China, keberadaannya melekat dengan klenteng atau rumah
ibadah Tionghoa. Di Sidoarjo ada di klenteng Tjong Hok Kiong di Jalan Hang
Tuah, di kawasan Pasar Ikan.
Di Sidoarjo, wayang potehi hanya digelar saat perayaan hari jadi
Makco Thian Siang Seng Bo di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Jalan Hang Tuah
Sidoarjo. Acara tahunan ini juga diisi dengan hiburan rakyat untuk warga
sekitar kelenteng. Untuk memeriahkan HUT Makco, Subur biasanya menggelar
pertunjukkan wayang potehi selama satu bulan penuh di kompleks kelenteng.
Wayang potehi di Sidoarjo merupakan bagian dari ritual umat Tridharma ketimbang
hiburan biasa. Karena itu, jarang sekali orang luar yang menikmati kesenian
langka ini. Padahal, unsur hiburan dan intrik di wayang potehi justru lebih
banyak daripada wayang kulit.
d. Jaran Kepang
Kelompok seni tradisi jaranan hampir punah di Kabupaten
Sidoarjo, tak sampai hitungan jari sebelah tangan. Sebelum 1980-an, cukup
banyak grup jaranan yang menggelar atraksi hiburan di kampung-kampung.
Kelompok-kelompok seni Jaranan atau Jaran Kepang yang selama ini ada di
Sidoarjo bisa dikatakan bukan asli atau berdomisili di Sidoarjo. Mereka berasal
dari luar kota, seperti Tulungagung, yang sengaja ngamen di Sidoarjo dalam
waktu beberapa lama. Diperkirakan ada sekitar 10 grup. Namun ada satu grup
Jaran Kepang versi Sidoarjo, yang agak berbeda dengan Jaran Kepang pada
umumnya. Yakni, ketika dalam masa trance, pemainnya memanjat pohon kelapa
dengan kepala menghadap ke bawah. Grup ini hanya ada di desa Segorobancang,
kec. Tarik.
e. Tari Ujung
Di daerah lain disebut Seni Tiban. Pertunjukan ini berupa tari
dan dimaksudkan untuk meminta hujan. Pertunjukan dua lelaki atau dua kelompok
lelaki bertelanjang dada, saling mencambuk dengan rotan secara bergantian.
Dapat digolongkan seni pertunjukan karena memang ditampilkan sebagai tontonan.
Kadang dimainkan di atas panggung namun masih ada juga yang menggunakan
lapangan terbuka. Di berbagai daerah, Ujung merupakan ritual untuk mendatangkan
hujan, namun Ujung Sidoarjo memiliki latar belakang sejarah sebagai peninggalan
masa kerajaan Majapahit, dimana penduduk disiapkan melatih kanuragan melawan
musuh. Kelompok Seni Ujung terdapat di kecamatan Tarik.
4. Cagar budaya
a. Candi Pari
Candi Pari
terletak di kecamatan Porong, Sidoarjo. Candi Pari merupakan candi peninggalan
kerajaan Majapajit. Candi Pari didirikan sekitar tahun 1293 saka (1371 masehi).
Candi ini didirikan pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk. Candi ini memiliki
ciri- ciri yang berbeda dari candi byang ada di Jawa Timur lainnya. Candi ini cenderung
terpengaruh dengan kesenian Champa (salah satu nama wilayah di Vietnam) jika
dilihat dari bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi-candi di
Jawa Tengah.
Candi Pari berdiri diatas bidang tanah ukuran 13,55 *
13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Bangunan Candi Pari didominasi
oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang atas dan bawah pintu
masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki candi memiliki ukuran
13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini terdapat dua buah
jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak tangga dengan arah
utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti ini tidak ditemui
dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak
ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur
( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran dinding
arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua
arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha yang semuanya telah
disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Candi Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat
hiasan berbentuk panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi
terdapat pahatan semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat
tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian
kecilnya berada di atas. Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan
terdapat hiasan miniatur yang atapnya bertingkat lima dengan puncaknya
berbentuk kubus, bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap
miniatur candi terdapat hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau
Sangkha. Candi pari yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun
1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Jawa Timur.
b. Candi Sumur
Candi
Sumur merupakan candi yang juga masih satu lokasi dengan Candi Pari. Mungkin
hanya berjarak kurang lebih 100 meter.
Berbeda dengan Candi Pari yang berukuran lumayan besar, Candi
Sumur memiliki ukuran yang lebih kecil, mungkin hanya separuhnya dan hanya
berhasil dipugar separuhnya saja.
Semua orang yang melihat candi ini pasti akan heran. Karena sisi
yang tegak hanya separuhnya saja dan ini akan membuat Candi Sumur rawan untuk
runtuh. Tetapi sekarang dibangun kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang
dan pengikat susunan badan candi yang masih ada.
Candi Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi
Pari, dan seperti halnya Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan
batu bata merah bukan dari batu andesit yang umumnya kita jumpai pada
candi-candi lain. Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau
relief-relief yang mendhias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat
dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini
cukup "curam" dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya,
sehingga perlu perhatian extra bila pengunjung ingin menaikinya dikarenakan
bata penyusun anak tangga atau tempat berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun
rata dan rapi. Memang, meskipun Candi Sumur tampak jelas telah mengalami
renovasi, namun batu-batu penyusun candi nampak belum diatur dengan rapi dan
ditambah dengan batu-batu pengganti untuk sisi-sisi yang hilang. Bentuk candi
yang berhasil direnovasi juga belum mampu memberikan gambaran secara lebih jelas
dan pasti akan lekuk-lekuk badan dan sudut-sudut candi.
c. Candi
Dermo
Candi
Dermo terletak di Dusun Dermo Desa Candi Negoro Kecamatan Wonoayu Kabupaten
Sidoarjo. Candi Dermo berukuran tinggi 13,5 meter, panjang 6 meter dan lebar 6
meter.
Saat ini, Candi Dermo sedang dalam perencanaan akan di renovasi.
Sebenarnya candi ini sudah pernah direnovasi pada jaman penjajahan belanda,
namun renovasi yang dilakukan nampaknya merubah wajah candi, karena lebih
bersifat mempertahankan candi dari keruntuhan daripada upaya menyusun ulang
badan candi.
Bagian dalam candi sangat sempit. Ini karena pada masa
pemerintahan Belanda dilakukan pemugaran dan pemugaran ini menambah bagian
dalam sedemikian rupa sehingga bisa menyokong bangunan dari kemungkinan runtuh.
Tetapi ada perbedaan antara batu asli candi dengan batu hasil pemugaran
Belanda. Batu bata hasil pemugaran semasa penjajahan Belanda mempunyai ukuran
yang lebih kecil dan tipis dibandingkan batu bata asli penyusun candi.
Pada kompleks candi Dermo, terdapat 4 buah Arca dengan 2 macam
jenis, yakni Arca Manusia Bersayap dan Arca Kolo. Namun sayangnya, sekarang
salah satu dari arca-arca tersebut ada yang sudah hancur, sehingga kini Candi
Dermo hanya memiliki 3 Arca saja. Yang disayangkan juga adalah bentuk apa yang
hendak ditampilkan pada kedua patung tersebut sudah susah untuk dikenali lagi
karena arca sudah rusak.
Candi Dermo dibangun pada Masa kerajaan Majapahit, pada wangsa
Raja Hayam Wuruk. Candi bercorak hindu ini berdiri pada tahun 1353 dibawah
pimpinan Adipati Terung yang sekarang makamnya terdapat di Utara Masjid
Trowulan.
Candi ini termasuk salah satu kompleks candi yang dibangun oleh
Kerajaan Majapahit sebagai bukti akan luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki.
Candi ini sebenarnya merupakan Gapura atau Pintu Gerbang, orang Jawa
mengatakan Gapura Ke Bangunan Suci. Arti dari Bangunan suci
sendiri adalah bangunan induk yang biasanya terletak di sebelah timur candi.
Begitupula dengan Candi Dermo, sebenarnya dahulu di sebelah timur Candi ada
bangunan induk yang ukurannya lebih besar, namun sekarang bangunan induk
tersebut sudah pupus dimakan waktu dan akhirnya roboh. Oleh masyarakat jaman
dulu, lahan puing-puing bangunan induk tersebut dijadikan pemukiman oleh warga
sekitar.
d. Candi Pamotan
Candi Pamotan terletak di desa Pamotan kecamatan Porong. Atap
candi ini sudak hilang dan candi ini lebih menjorok ke dalam maka dari itu
apabila musim hujan tiba, candi ini kerap digenangi air.
Lebar Candi Pamotan hanya sekitar satu meter saja. Candinya
sendiri hanya berupa tumpukan bata merah karena atap dan badan candi sudah
runtuh.
Meskipun berada di daerah kekuasaan kerajaan Majapahit, candi
ini belum bisa dikatakan sebagai situs peninggalan kerajaan Majapahiyt
e. Candi
Medalem
Candi ini sangat berbeda dengan candi- candi lainnya yang ada di
Sidoarjo. Candi Medalem hanya berupa tumpukan batu bata merah yang disusun
memanjang entah berapa meter panjangnya.
Candi yang ditemukan tahun 1992 oleh Pak Tamaji ini diperkirakan
sebagai tempat pembakaran atau mungkin fondasi candi. Tidak ada
berita jelas mengenai situs bersejarah ini. Karena papan penunjuk sejarah tidak
ada. Bahkan papan larangan untuk tidak merusak situs sudah rusak dan berkarat.
Nasib candi ini sangat tragis. Bahkan bata-bata yang memanjang
itu sudah tinggal sedikit karena sisanya terkubur di bawah pohon-pohon pisang
dan rumah penduduk.
Tidak ada pengunjung ke situs ini, hanya orang yang ingin
mengambil air yang dianggap ajaib dari sumur dekat candi ini saja yang mau
menghampiri situs ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar